Page 38 - Vol. Edisi Semester 1 2023
P. 38
NOSTALGIA DIKALA
CERMIN NOSTALGIA DIKALA
HUJAN
HUJAN
Hujan tak diundang datang pagi-pagi buta, tanpa adanya aba-aba membasahi seluruh jalanan kota
Bandung dengan derasnya. Rintik-rintiknya yang semula hanya bak seonggok biji jagung kini menjadi
sebesar batu kerikil yang sering kali menyandung kaki. Gemercik rintik-rintiknya menyadarkan lelapnya
tidur sang gadis yang baru saja sampai di Bandung 2 jam yang lalu, dengan berat hati matanya terbuka,
masih dengan air liur yang menetes tak tahu malunya dari mulut si gadis rantau. Matanya masih tampak
memerah akibat tidurnya yang lelap diganggu oleh rintik air hujan di kota tempat lahirnya. Kakinya
melangkah dengan terseok-seok seperti mayat hidup dengan mata yang masih setengah tertutup
menuruni tangga demi tangga rumahnya, sedikit ia regangkan tubuhnya kesana kemari hingga naasnya
Ia menabrak meja dan membuatnya mengaduh sakit.
"Aduh, pagi-pagi udah sial aja, siapa juga yang naro meja di tengah jalan gini!"
"Makanya kalo bangun tidur tuh nunggu melek dulu, udah tau masih merem melek gitu malah udah
ngeluyur aja."
"Ya nanti mama marah-marah kalo aku bangun kesiangan, males aku tuh."
"Emang dipikir mama cuma bisa marah aja gitu, lagian juga waktunya beda dulu kamu tidur cepet kok
malah bisa-bisanya bangun siang, nah kalo sekarang kamu mau tidur sampai nanti sore juga mama gak
akan marah, orang kamu sampai rumah 2 jam lalu. Udah sana mandi, bau kamu kecium sampai sini loh,
udah mana ada jigong tuh di pipimu."
"Tapikan emang ben -."
"Udah-udah, masih pagi ini masa iya udah mau ribut, pusing Papa dengerinnya." Ucap Sang Papa yang
baru saja lewat dengan frustasi.
"Dek coba sana kamu beresin kamarmu, udah kaya kapal pecah aja dilihat-lihat." Mama berkata dengan
kepalanya yang digeleng-gelengkan.
"Siap kanjeng ratu, akan saya laksanakan!." Rain menjawab dengan senyum Pepsodent nya yang
terpampang dengan jelas.
Tetapi berbeda jauh dengan ekspresi wajah yang ia tampilkan tadi, langkah kakinya berjalan dengan
ogah-ogahan sembari menenteng alat kebersihan menuju kamarnya. Dengan malasnya ia mulai
membersihkan kamar, dimulai dari pojok-pojok kamar dan lantai-lantai yang telah berdebu, tak sengaja
kakinya menabrak seonggok kardus usang yang tak lagi nampak mengenakan untuk dipandang tapi tak
dengan dalamnya yang penuh akan nostalgia masa SMA sang pemilik. Perlahan tanpa sadar tangannya
membuka kardus itu, tak peduli dengan debu yang berterbangan dan sebagian lain menempel di jarinya
yang lentik. Sebuah album foto besar serta beberapa foto polaroid kini menghiasi kedua bola matanya,
senyuman tipis kemudian muncul dengan si Puan yang mulai membuka halaman pertama buku tahunan
SMA nya itu. Foto guru-gurunya pada masa putih abu-abu itu mulai terpampang nyata, lembar demi
lembar terlewati, kini giliran kelasnya. Binar matanya kian meredup ketika Ia mulai memandang foto
teman-temannya satu persatu.
Pertemuan pertama di dalam kelas yang canggung, kebisingan kelas yang terdengar sampai ke
lorong-lorong kelas lain, alunan lagu-lagu galau yang diputar setiap kali istirahat datang, candaan gila
yang mengundang tawa tak ada hentinya, adanya asmara yang terjalin, dan konflik-konflik kecil penuh
drama tentunya tidak lupa dengan rencana-rencana yang hanya berujung wacana. Sungguh dalam
relung hatinya, Ia rindu. Ada perasaan sesak dan teringin untuk mengulang kembali masa-masa itu, tapi
sayang waktu tak bisa diulang. Wajah teman-temannya yang tersenyum membuatnya meringis dengan
getir, kini mereka semua telah beranjak dewasa dan berjalan di jalannya masing-masing, yang dulunya
masih sering bercanda dan melakukan keusilan bersama, sekarang bahkan hanya bertukar pesan pun
tidak pernah, ternyata memang sudah selama dan sejauh itu ya.